Jakarta, Bidik-nusantaranews.com Apakah kita siap menghadapi perubahan zaman? Pertanyaan ini mengawali diskusi yang dipimpin oleh Junico Bisuk Partahi Siahaan, atau yang lebih dikenal dengan Nico Siahaan, dalam acara yang diselenggarakan oleh PEWARNA Indonesia bekerja sama dengan PGI di Media Center PGI, Jalan Salemba Raya, Jakarta.
Era digitalisasi telah merambah hampir setiap aspek kehidupan kita dalam beberapa dekade terakhir. Teknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat, mengubah cara kita bekerja, berinteraksi, bahkan berpikir. Digitalisasi membuka peluang baru yang tak terbayangkan sebelumnya, namun juga menimbulkan tantangan signifikan. Bagaimana masyarakat beradaptasi dengan teknologi yang terus berkembang? Apakah kita siap menghadapi perubahan yang dibawa oleh era digitalisasi?
Diskusi yang bertajuk “Pengaruh Era Digitalisasi Dalam Tataran Masyarakat” ini diadakan pada Jumat, 12 Juli 2024, pukul 10.00-12.00 WIB. Selain Nico Siahaan, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, hadir juga sebagai pembicara Beny Lumy dari Komisi Integrasi Persekutuan Gereja-gereja Indonesia. Acara ini dimoderatori oleh Grollus Daniel Sitanggang, anggota PEWARNA Indonesia.
Nico Siahaan menekankan pentingnya mempersiapkan undang-undang yang relevan dengan era digital, seperti Undang-Undang ITE dan UU Data Pribadi. Dia menyoroti bahwa pendekatan pengelolaan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) saat ini masih terlalu militeristik. “Bidang siber harus dipegang oleh orang yang memahami sistem siber,” ujarnya. Ia juga menegaskan perlunya membentuk Badan Perlindungan Data Pribadi yang independen, untuk melindungi data warga di era digital ini.
Nico Siahaan juga mengkritik kurangnya kesiapan pemerintah dalam menghadapi perkembangan zaman. “Kita siap, tapi tidak terlalu serius. Banyak masalah seperti anggaran dan kualitas sumber daya manusia yang belum teratasi,” katanya. Dia menyoroti pentingnya pemimpin yang memiliki kapasitas dan kapabilitas di bidang digitalisasi, serta perlunya kedaulatan digital bagi Indonesia. “Bangsa Indonesia harus punya kedaulatan sinyal, konten, dan aplikasi percakapan sendiri,” tambahnya.
Beny Lumy, dari Komisi Integrasi Persekutuan Gereja-gereja Indonesia, menjelaskan perbedaan antara era digital 3.0 dan 4.0. “Di era digital 3.0, dunia nyata dan maya berjalan paralel, tapi di era digital 4.0, keduanya menyatu. Misalnya, pelecehan seksual bisa dituntut tanpa ada sentuhan fisik,” ujarnya. Beny juga menyoroti dampak era digitalisasi yang mempengaruhi pola hidup kita sepanjang hari tanpa batasan waktu dan usia. Ia juga mengkritik mentalitas pejabat yang masih seperti pedagang, yang tidak menunjukkan kemandirian dan inovasi dalam teknologi.
Nico Siahaan menutup dengan menekankan pentingnya konsep kedaulatan dan kemandirian dalam menghadapi era digital. “Pendidikan harus berperan mengubah mindset para pendidik untuk mengimplementasikan kurikulum yang relevan,” katanya. Ia juga mendorong Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia untuk terus berkolaborasi dengan pemerintah dan lembaga lainnya dalam menghadapi perubahan zaman.
Diskusi ini juga menghadirkan Romo Kefas, pimpinan redaksi Pelitanusantara.com, yang memberikan pandangannya tentang era digitalisasi dalam tataran masyarakat dan implementasi kurikulum merdeka yang sedang dijalankan oleh pemerintah.
Dengan berbagai pandangan dan saran yang disampaikan dalam diskusi ini, kita diajak untuk lebih siap dan serius dalam menghadapi tantangan era digitalisasi yang terus berkembang. Apakah kita siap? Hanya waktu yang akan menjawab. (Ashiong P. Munthe)