BNN Indonesia akan menghadapi Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak, total daerah yang akan melaksanakannya di tahun 2024 ini, sebanyak 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.
Pelaksanaan Pilkada serentak ini diatur melalui Pasal 201 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota di seluruh wilayah Indonesia
Terkait dengan adanya pilkada serentak tahun ini yang akan dilaksanakan 27 November 2024 dan para pasangan calon kepala daerah sesuai agenda akan ditetapkan pada 21 september 2024, setelah melalui proses administrasi dan kelengkapan dari Komisi pemilihan umum daerah (KPUD).
Yang cukup menarik untuk disikapi, adalah akan digelarnya Pilkada serentak yang baru pertama kali akan digelar di Indonesia.
Dengan muncul adanya wacana calon tunggal menjadi fenomena ataupun berbincangan para elit politik saat ini. Hal ini terjadi akibat turunan dukungan dari partai politik sejak pemilihan presiden yang lalu. Di mana ada partai pendukung masuk dalam koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo-Gibran dan partai lainnya sebagai pendukung pasangan Ganjar-Mahfud dan Atau Pendukung Anies – Cak Imin.
Partai – partai yang tergabung dalam KIM inilah kemudian berupaya menjalin komunikasi hingga level bawah baik ke tingkat propinsi sampai kabupaten/kota dalam memajukan pasangannya.
Seperti yang terjadi propinsi Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan hangat di Daerah Khusus Jakarta di mana KIM sudah memajukan calonnya. Dan ternyata KIM menjalin komunikasi untuk mengajak partai-partai lain di luar KIM seperti Nasdem, PKS dan PKB yang disebut KIM plus, yang akhirnya memunculkan dugaan gejala melawan Kotak kosong saat gelaran tersebut terjadi.
Gejala melawan kotak kosong ini, menurut Ray Rangkuti Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia, Fenomena kotak kosong ini bisa dikatakan kemunduran demokrasi, sebagai kelanjutan kemerosotan demokrasi di era pemerintahan Jokowi, setelah keputusan MK yang meloloskan syarat wakil presiden ditambah dengan keputusan MA tentang syarat usia kepala daerah. Tentu wacana melawan kotak kosong ini patut diwaspadai.
Di sisi lain fenomena kotak kosong ini menurut penulis menyebabkan masyarakat tidak diperhadapan pada sebuah pilihan, tentang siapa kepala daerah yang akan memimpin daerahnya. Sekalipun melawan kotak kosong ada aturannya namun ini bentuk dari sebuah demokrasi yang kurang baik. Sementara Indonesia adalah multi partai yang harusnya, partai mampu melahirkan kader-kadernya yang bisa diusung menjadi kepala daerah dalam ranah eksekutif.
Sudah semesthinya partai politik yang fungsinya mempersiapkan kadernya, sehingga masyarakat semakin banyak pilihan dalam menentukan seorang pemimpin yang terbaik. Dengan adanya melawan kotak kosong ini memilih yang tak bernyawa bagaimana memimpin jika menang.
Partai politik harus bertanggung jawab kalau tidak ingin ditinggalkan pemilihnya, hematnya orang mendukung partai politik adalah bentuk kesamaan ideologi yang ada di partai tersebut. Dengan harapan melalui partai politik yang didukungnya partai politik akan melahirkan pemimpin yang memiliki kesamaan ideologinya.
Namun, pertanyaan kemudian sudah mendukung suatu partai tertentu agar memperjuangkan kepentingannya, namun kenyataannya giliran ada kesempatan kadernya maju tidak berani memajukan kadernya sendiri, terlepas persyaratan yang harus dipenuhi.
Belum lagi ketika pemimpin daerah ini memiliki kesamaan dengan pemerintahan pusat, jika terjadi penyelewenganan kebijakan akan merembet hingga ke daerah, ini sangat berbahaya bagi kepentingan masyarakat.
Dengan berbagai prediksi dan pandangan ini, seharusnya membekali rakyat dan khususnya partai politik agar melihat kembali fungsi dan misi visnya mendirikan partai. Jika memajukan kadernya sendiri saja tidak ada keberanian buat apa membuat partai yang bermacam-macam yang hanya membuat gaduh dan riuh serta pemborosan anggaran, cukup saja ada dua atau tiga partai toh ketika ada kesempatan memajukan kadernya mereka tidak berani dan lebih memilih bergabung dengan partai pemenang.
Namun, terlepas dari fenomena calon tunggal yang pro dengan pemerintah pusat ini, ada sisi positif sepanjang pemerintah pusat kebijakannya pro pada rakyat dengan adanya kepala daerah yang merupakan hasil dari dukungan partai pendukung pemerintah pusat (KIM) tentu akan semakin memudahkan kebijakan itu hingga sampai turun ke masyarakat bawah.
Penulis Yusuf Mujiono
Ketua Umum PEWARNA Indonesia