Pasangkayu, Sulawesi Barat– Kasus dugaan penyerobotan tanah yang melibatkan warga Desa Gunung Sari, I Wayan Kerti, terus menjadi sorotan. Laporan terkait kasus tersebut telah berjalan hampir delapan bulan namun tak kunjung mendapat titik terang kapan laporan itu akan di tindak lanjuti oleh penyidik.
Persoalan ini kemudian memunculkan berbagai pertanyaan dari pihak korban, Meriel Solfian R., warga Desa Sarudu, Kecamatan Sarudu yang menanti keadilan hukum di tangan polisi
Untuk diketahui Kasus ini bermula ketika Meriel Solfian R. melaporkan dugaan penyerobotan tanah miliknya seluas 24.110 meter persegi yang terletak di Desa Gunung Sari. Berdasarkan sertifikat yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Pasangkayu, lokasi kebun tersebut sah milik Meriel, yang dibelinya dari seseorang bernama Aja pada tahun 2017 dengan harga Rp 24 juta. Transaksi ini juga telah tercatat dalam Surat Keterangan Jual Beli yang diketahui oleh Kepala Desa Gunung Sari, I Nyoman Sukariawan.
Namun, permasalahan muncul ketika I Wayan Kerti diduga secara ilegal menguasai lahan tersebut. Meskipun laporan telah disampaikan kepada pihak kepolisian pada 30 Maret 2022, hingga kini tidak ada perkembangan berarti yang mengarah pada penyelesaian kasus. Hal ini menimbulkan keresahan, tidak hanya bagi Meriel Solfian R. sebagai pemilik sah tanah, tetapi juga bagi masyarakat yang menantikan keadilan.
Ketua Rumah Bantuan Hukum Indonesia (RBHI), Linson Mangapul Sitorus, S.H., M.H., yang bertindak sebagai kuasa hukum Meriel Solfian R., menyoroti lambannya penanganan kasus ini oleh Polres Pasangkayu. Dalam sebuah wawancara, Linson menyatakan bahwa pihaknya terus memantau perkembangan kasus ini dan mengingatkan agar penyidik tidak mengulur-ulur waktu. “Polisi tidak boleh mengulur-ulur penyelesaian kasus ini karena sudah sangat berlarut-larut. Jika tidak ingin dicurigai atau dibilang tidak profesional, penyidik Polres Pasangkayu harus membuktikan,” tegas Linson.
Salah satu langkah kunci yang diharapkan dapat mempercepat penyelesaian kasus ini adalah pengecekan lokasi oleh pihak BPN. Hasil plotting dengan menggunakan teknologi GPS akan menjadi bukti kuat untuk menegaskan keaslian sertifikat tanah milik Meriel Solfian R. dan menentukan apakah klaim penyerobotan yang dilakukan oleh I Wayan Kerti benar-benar terjadi. Namun, hingga saat ini, Linson mengaku belum mendapatkan informasi mengenai kapan BPN akan melakukan pengecekan lokasi tersebut.
Pasal 385 KUHP menjadi landasan hukum yang digunakan dalam kasus ini. Pasal ini melindungi pemilik tanah dari tindakan penyerobotan, di mana pelaku dapat diancam dengan hukuman pidana penjara maksimal empat tahun. Dalam KUHP Buku II Bab XXV, penyerobotan tanah digolongkan sebagai tindakan kriminal yang serius, atau dikenal dengan istilah Stellionnaat, yaitu aksi penggelapan hak atas harta yang tak bergerak milik orang lain.
Penyerobotan tanah sendiri bisa terjadi dalam berbagai bentuk, seperti mencuri, merampas, atau menempati lahan milik orang lain tanpa izin yang sah. Dalam kasus ini, dugaan kuat mengarah pada tindakan ilegal oleh I Wayan Kerti, yang diduga berupaya mengambil alih lahan yang sah milik Meriel Solfian R. demi keuntungan pribadi.
Linson menambahkan bahwa penundaan penyelesaian kasus sengketa tanah seperti ini bisa berdampak buruk bagi masyarakat. Selain kerugian materi yang diderita oleh korban, sengketa tanah yang berlarut-larut juga dapat memicu konflik yang lebih serius, bahkan mengakibatkan korban jiwa. Oleh karena itu, ia mendesak agar pihak kepolisian segera menyelesaikan penyelidikan dan menyerahkan kasus ini ke meja hijau.
Dengan begitu banyaknya mata yang tertuju pada kasus ini, kelambanan penanganan oleh aparat hukum hanya akan memperburuk citra penegakan hukum di Pasangkayu. Masyarakat setempat, yang sudah lama menunggu kejelasan atas kepemilikan lahan, kini hanya bisa berharap agar keadilan segera ditegakkan, dan hak-hak Meriel Solfian R. sebagai pemilik sah tanah tersebut dapat dipulihkan tanpa ada lagi penundaan. RBHI menegaskan
(EL)